LAMONGAN, Mediaabj – Pagi di SDN Babat 7 Lamongan biasanya berjalan tenang. Anak-anak berlarian menuju kelas, guru-guru menyapa dengan senyum. Namun ketenangan itu berubah ketika sebuah pemberitaan mengenai dugaan pelecehan muncul di media online dan menyebut nama seorang guru berinisial RN. Sejumlah pihak mempertanyakan dasar munculnya nama RN dalam pusaran isu tersebut. Pasalnya, hingga berita ini diturunkan, RN tidak pernah dipanggil, tidak diperiksa, dan tidak ditetapkan sebagai terlapor dalam kasus apa pun.
Namun desakan, kecaman, dan istilah-istilah bernada vonis sudah keburu memenuhi ruang publik. narasi yang beredar sudah menggunakan istilah “skandal”, “kejahatan berlapis”, hingga memaparkan ancaman pasal pidana berat, seakan proses hukum telah berlangsung dan kesimpulan telah diambil.
Di sekolah tempat RN mengajar, suasana berjalan seperti biasa. Siswa tetap belajar, guru tetap mengajar, dan tidak ada aktivitas seperti penyelidikan terbuka atau pemeriksaan yang biasanya dilakukan aparat. Ketidakhadiran proses formal inilah yang membuat banyak pihak merasa pemberitaan sebelumnya justru dirasa melompat terlalu jauh.
“Yang kami tahu, sampai hari ini tidak ada surat panggilan apa pun. Tidak ada status terlapor. Tidak ada pemeriksaan. RN bahkan tetap menjalankan tugasnya seperti biasa,” ujar salah satu rekan sesama guru yang tak ingin namanya dicantumkan, Kamis (27/11).
Narasi keras yang mendominasi pemberitaan sebelumnya dinilai memberi tekanan sosial yang tidak kecil, terlebih karena dibuat sebelum ada klarifikasi dari pihak yang disebut. Bahkan beberapa tokoh masyarakat menilai bahwa nada pemberitaan yang langsung menyebut skandal dan skenario pasal berlapis justru berpotensi menciptakan persepsi publik yang menyimpang.
“Kalimat-kalimat seperti itu biasanya muncul setelah penyidikan berjalan, bukan sebelum proses apa pun dilakukan. Ini membuat publik seperti dipaksa percaya pada dugaan yang belum diuji,” katanya.
Pihak RN sendiri memilih tenang dan menghormati proses hukum jika nantinya ada. Namun mereka menyayangkan ketika sebuah pemberitaan mengembangkan narasi ancaman pasal pidana, durasi hukuman, hingga spekulasi berat lainnya, padahal tidak ada satu pun dokumen hukum yang menyatakan RN terlibat atau sedang diperiksa.
Menurut pihak RN, pemberitaan yang terlalu menggiring opini dapat mengundang dampak sosial yang tidak sesuai kenyataan. “Nama seseorang bisa rusak dalam semalam karena dugaan yang belum tentu benar. Yang kami minta hanya kejelasan. Bila memang ada laporan, kami siap mengikuti prosesnya,” ujar seorang kerabat RN.
Beberapa wali murid di sekolah itu juga mengaku terkejut saat membaca pemberitaan yang berseliweran. Namun ketika mengetahui bahwa belum ada proses hukum yang berjalan, mereka memilih menahan kesimpulan.
“Biarlah prosesnya jelas dulu. Yang jelas kita semua ingin anak-anak aman, tapi juga jangan sampai orang yang belum tentu salah langsung dihukum publik,” ungkap seorang wali murid.
Pihak sekolah pun memastikan bahwa hingga kini tidak menerima tembusan laporan resmi, baik dari dinas pendidikan maupun aparat penegak hukum. Mereka berharap publik termasuk media tetap menempatkan informasi sesuai porsinya.
Sementara itu, guru lainnya di SDN 7 Babat menekankan pentingnya asas kehati-hatian dalam menyampaikan dugaan sensitif, terutama yang menyangkut individu dan menyebut nama instansi pendidikan.
“Jika pemberitaan sudah menampilkan pasal pidana, ancaman hukum, dan narasi penghukuman, padahal belum ada penetapan terlapor, itu berpotensi misleading. Pemberitaan harus mengingatkan publik bahwa semuanya masih dugaan, bukan memberi kesan bahwa proses hukum sudah selesai,” tegasnya.
“Pada akhirnya, kebenaran bukan lahir dari asumsi, narasi emosional, atau tekanan opini.
Kebenaran lahir dari proses dan proses itulah yang hingga kini belum dimulai secara formal,” tandasnya. [P.Shal]
